Kepemilikan(Al Milkiyah)
Jumat, 10 Maret 2017
Tulis Komentar
Al Milkiyah (Kepemilikan)
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dibantu dengan barang-barang untuk menunjang dalam rutinitas sehari-hari. Baik di rumah, sekolah, pekerjaan, bahkan mau tidur, tidak lepas dengan yang namanya barang. Ini merupakan hal yang lumrah, dan tidak ada salahnya, selagi tidak mengambil hak orang lain.
Setiap orang selalu membutuhkan orang lain dalam setiap kegiatan, kita kita hidup berindivi-individu. Setiap hari kita membutuhkan makan, makanan diproduksi oleh petani, petani butuh orang lain untuk pemasok pupuk dan alat-alat pertanian, tentu petani juga membutuhkan orang lain juga, begitu seterusnya. Karena dalam kehidupan kita membutuhkan orang lain. Maka, kita harus berkelakuan baik terhadap orang lain. Setiap orang memang memiliki haknya masing-masing, tapi jangan melupakan hak orang lain. Kita tidak bisa mengambil barang milik orang lain sesuka hati kita.
Dalam memiliki suatu barang ada tata caranya dan kita kehilangan barang juga ada aturan mainnya Kita harus mengetahui hal itu, agar tidak berselisih paham dengan orang lain. Dimana hak dan kewajiban bisa timbul karena setiap manusia memiliki kebutuhan sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk itulah dalam makalah ini akan membahasa mengenai hak milik, cara mendapatkan barang dan pemindahan barang.
A. Pengertian Hak Milkiyah (Kepemilikan)
Islam menghargai dan mengakui hak milik pribadi. Karenanya Islam telah mengadakan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi itu. Misalnya, pencurian, perampokan, penyerobotan, penggelapan dan sebagainya.
Hukum Islam dalam mengatur pergaulan hidup manusia memberikan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban agar ketertiban hidup masyarakat benar-benar dapat tercapai. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari sesuatu hal. Misalnya, dalam perikatan jual beli, pihak pembeli berhak menerima barang yang dibelinya, tetapi dalam waktu sama berkewajiban juga menyerahkan uangnya.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syarak. Berhadapan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya. Hukum Islam mengenal berbagai macam hak yang pada pokoknya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu hak Allah, hak manusia dan hak gabungan antara keduanya.
Sedangkan, Milkiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang berada dalam kekuasaanya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu harta atau barang yang secara hukum dapat dimilik oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang lain. Adapun menurut ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i.
Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya dapat melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dan dapat dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak.
Milik dalam buku; Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, didefinisikan sebagai kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar'i".
Dengan demikian milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhada harta tersebut.
Berdasarkan definisi milik tersebut, kiranya dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain dapat dikatakan "tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki".
Hak yang dijelaskan di muka, adakalanya merupakan sulthah, adakalanya merupakan taklif.
a. Sulthah terbagi dua, yaitu sultbah 'ala al-nafsi dan sulthah 'ala syai'in mu'ayanin.
- Sulthah 'ala al-Nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadlanah (pemeliharaan anak).
- Sulthah 'ala syai'in mu'ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi ('ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta ('ahdah maliyah) seperti membayar hutang.
Para fuqaha berpendapat bahwa hak adalah sebagai imbangan dari benda (a'yan), sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqa laisa bi al-mal).
Islam mengajarkan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Artinya terdapat kepentingan orang lain atau kepentingan umum yang harus diperhatikan. Lebih dari itu bahwa milik pada hakikatnya hanyalah merupakan titipan dari Allah sehingga perlakuan terhadap kepemilikan harus mengindahkan aturan dari pemiliknya yang asli.
B. Sebab-Sebab Kepemilikan
Manusia pada hakikatnya bisa memiliki benda apa pun, hal ini sudah menjadi suatu ketetapan. Akan tetapi tidak semua benda bisa dimiliki, seperti benda yang sudah ada pemilikinya, akan tetapi barang tersebut bisa berpindah tangan dengan cara tetentu dengan sesuai aturan.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, cara yang sah memperoleh milik sempurna ada empat macam, yaitu (1) menguasai benda mubah; (2) menghidupkan tanah mati; (3) berburu; (4) akad (perikatan) pemindahan milik.
Dalam perspektif yang lain, milkiyah (hak milik) dapat diperoleh melalui satu di.antara beberapa sebab berikut ini:
Pertama: Ihraz al-mubahat (Penguasaan harta bebas):
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-mubahat (harta bebas, atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani’ al-syar'iy) untuk memilikinya.
Misalnya, ikan di laut, rumput di jalan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lain-lain. Inilah semua barang mubah. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk tujuan dimiliki.Menguasai dengan maksus memiliki itu, dikatakan ihraz.
Dengan demikian upaya pemilikan suatu harta melalui ihraz almubahat harus memenuhi dua syarat:
(1). Tidak ada pihak lain yang mendahului melakukan ihraz al mubahat. Dalam hal ini berlakukah kaidah barangsiapa lebih dahulu menguasai 'harta bebas' maka sungguh ia telah memilikinya". Jika seseorang mengambil ikan dari laut "dan mengumpulkannya di tempat penyimpanan, misalnya di atas perahu, lalu ia meninggalkannya maka ikan tersebut tidak lagi dalam status al-mubahat dan orang lain terhalang untuk memilikinya melalui cara yang sama.
(2) Penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki. Menangkap ikan dari laut lalu dilepaskan di sungai, menunjukkan tidak adanya tujuan untuk memiliki. Dengan demikian status ikan tersebut tetap sebagai al-mubahat.
Jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah "penguasaan atas al mubahat (harta bebas) untuk tujuan dimiliki. Penguasaan tersebut dapat dilakukan melalui cara-cara yang lazim, misalnya dengan menempatkannya pada tempat yang dikuasainya atau dengan memberi batas, atau dengan memberi tanda pemilikan. Seekor burung yang bersarang di atas pohon tetap sebagai harta al-mubahat, sampai seseorang dapat menguasainya dengan menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah sangkar. Demikian juga segerombol walet yang bersarang pada sebuah gedung. Pemilik pohon dan pemilik gedung tidak dapat mengklaim burung tersebut sebagai miliknya. Ketika burung tersebut terbang ia benar-benar tidak menguasainya. Berbeda dengan getah walet yang menempel di rumah atau disebuah gedung yang sengaja dibuat untuk keperluan ini.
Dalam masyarakat bernegara, konsep ihraz al-mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas. Demi melindungi kepentingan publik (al-maslahah al-'ammah} negara atau penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam dan lain sebagainya.
Dengan demikian seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan; seseorang tidak boleh menguasai atau memiliki tanah atau kebun milik negara kecuali dengan izin, seseorang tidak boleh berburu satwa langka dan lain sebagainya.
Luqathah pada prinsipnya tidak termasuk harta mubahat. Luqathah atau suatu harta yang ditemukan di jalan yang mengandung indikasi bahwa harta tersebut sebelumnya telah dikuasai dan dimiliki orang lain. Jadi pada prinsipnya luqathah tidak termasuk harta mubahat, kecuali jika harta tersebut belum pernah dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain, seperti menemukan seekor binatang liar di jalan. Jika diketahui pemiliknya, harta benda tersebut harus segera diserahkan kepada pemiliknya, karena barang temuan tersebut bersifat amanat.
Kedua: Akad
Kata akad berasal dari kata al-aqd berarti mengikat, menyambung, atau menghubungkan. Menurut istilah fuqaha, ialah perikatan ijab dan kabul secara yang disyari’atkan agama nampak, bekasannya pada yang diakadkan itu. Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan, sedangkan menurut bahasa akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan. Dari segi sebab pemilikan dibedakan antara uqud jabariyah dan istimlak.
a. Uqud jabariyah, yaitu : akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan kepada keputusan hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Maka penjualan itu sah walaupun dia menjual karena dipaksa oleh hakim, dan hakim memaksa menjual barang itu untuk membayar hutang kepada orang lain, dan masuk ke dalam uqud ini, tamalluk, yaitu syuf’ah.
b. Istimlah, untuk maslahat umum. Umpamanya tanah-tanah yang disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid, harus dapat dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya. Ini dikatakan tamalluk bil jabri (pemilikan dengan paksaan).
Kedua-dua ini baik akad jabriyah, maupun tamalluk jabry masuk ke dalam bidang akad.
Ketiga: Khalafiyah (penggantian atau pewarisan).
Khalafiyah adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru di tempat yang lama, yang telah hilang, pada berbagai macam rupa hak. Dengan demikian khalifiyah dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya pewarisan. Dalam pewarisan seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tarikah). Jika seseorang wafat sama sekali tidak mempunyai harta, atau harta yang ditinggalkannya tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Dalam hal ini menurut Musthafa al-Zarqa', seorang fuqaha Hanafiyah, ahli warisnya tidak dapat dituntut melunasi hutang tersebut dengan harta-kekayaan sendiri.
Sebab al-irs (pewarisan) ditetapkan oleh syara' sebagai sebab penggantian pemilikan, bukan sebagai sebab penggantian piutang. Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadhmin (pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta'widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain, Melalui tadhmin dan ta'widh ini terjadilah penggantian atau peralihan milik dari pemilik pertama kepada pemilik baru.
Keempat: al-Tawallud (anak pinak atau berkembang biak)
Lengkapnya adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya dinamakan tawallud. Dalam hal ini berlaku kaidah "setiap peranakan atau segala suatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya".
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru) seperti binatang yang dapat bertelur, beranak, menghasilkan air susu, dan kebun yang menghasilkan buah dan bunga-bunga. Benda mati yang tidak bersifat produktif, seperti rumah, perabotan rumah (kecuali desewakan) dan uang, tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan (laba, sewa, bunga) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud,, karena betapapun rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi beranak. Keuntungan tersebut haruslah dipahami sebagai hasil dari usaha kerja (tijarah).
Dalam hal ini tijarah seharusnya tidak dipahami dalam pengertian sempit, terbatas pada usaha kerja yang dilakukan dengan mengerahkan SDM, baik melalui kerja otot maupun kerja pikir. Tijarah sesungguhnya juga mencakup usaha-kerja memanfaatkan asset barang (modal) untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain. Tijarah seperti ini lazimnya dinamakan usaha kerja di sektor jasa. Seperti menyewakan rumah atau perabotan rumah tangga. Meminjamkan atau mengutangkan uang (modal) seharusnya dihargai sebagai tijarah (usaha kerja) sehingga pemilik modal berhak memungut keuntungan.
C. Pemindahan Hak Milik
Sebelumnya kita telah mempelajari mengenai sebab-sebab kepemilikan barang. Tentu dengan mempelajari sebeb-sebab kepemilikan barang kita sudah bisa membayangi mengenai pemindahan barang hal milik dari seseorang ke orang lain. Adapun pemindahan hak milik bisa dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:
1. Perdagangan
Perdagangan merupakan suatu cara pertukaran barang. Dari penjual ke konsumen.
2. Warisan
Warisan merupakan peninggalan orang yang telah meninggal ke ahli waris. Seorang ahli waris berhak memiliki barang yang telah diwariskan kepadanya.
3. Pemberian atau hadiah
Pemberian hadian kepada orang lain merupakan hal yang baik dilakukan. Hal ini bisa membuat hubungan seseorang terus membaik. Pemberian hadiah dari orang yang memiliki barang ke orang yang diberi hadiah, tentu hal ini akan memindahkan hak miliki dari orang pertama ke orang kedua.
D. Hikmah kepemilikan dalam islam
a. Manusia tidak boleh sembarangan untuk memiliki sesuatu tanpa melihat aturan yang berlaku.
b. Manusia akan berusaha dengan benar untuk dapat memiliki sesuatu .
c. Membentengi manusia untuk dapat memiliki sesuatu dengan jalan yang tidak benar.
d. Terpeliharanya keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
e. Terciptanya situasi masyarakat yang saling mengisi dan saling membutuhkan.
f. Terbentuknya sikap saling menghormati dan menghargai antara sesame manusia.
Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah swt., agama islam sangat menghargai hak asasi manusia tidak seperti agama lainnya, setiap hukum-hukum islam memiliki hikmah-hikmah yang indah diantara hokum-hukumnya tersebut. Jadi bersyukurlah kita umat islam yang akan selalu terpenuhi dengan hikmah-hikmah dalam ketentuan ketentuan syara’ dan hukum-hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku M.H,Pengantar Fiqih Mu’amalah,Semarang:PustakaRizki Saputra,1997
Prof.Dr.Amir S., Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta utara: Prenada Media, 2003
Prof.Hendi Suhendi. Fiqih Mu’amalah. Jakarta Pusat: Rajagrafindo Persada. 2014
http://oranb.blogspot.co.id/2013/09/kepemilikan-dalam-islam.html diakses pada 20 Februari 2017
https://gedhanggoyeng.wordpress.com/ diakses pada 20 Februari 2017
Setiap orang selalu membutuhkan orang lain dalam setiap kegiatan, kita kita hidup berindivi-individu. Setiap hari kita membutuhkan makan, makanan diproduksi oleh petani, petani butuh orang lain untuk pemasok pupuk dan alat-alat pertanian, tentu petani juga membutuhkan orang lain juga, begitu seterusnya. Karena dalam kehidupan kita membutuhkan orang lain. Maka, kita harus berkelakuan baik terhadap orang lain. Setiap orang memang memiliki haknya masing-masing, tapi jangan melupakan hak orang lain. Kita tidak bisa mengambil barang milik orang lain sesuka hati kita.
Dalam memiliki suatu barang ada tata caranya dan kita kehilangan barang juga ada aturan mainnya Kita harus mengetahui hal itu, agar tidak berselisih paham dengan orang lain. Dimana hak dan kewajiban bisa timbul karena setiap manusia memiliki kebutuhan sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk itulah dalam makalah ini akan membahasa mengenai hak milik, cara mendapatkan barang dan pemindahan barang.
A. Pengertian Hak Milkiyah (Kepemilikan)
Islam menghargai dan mengakui hak milik pribadi. Karenanya Islam telah mengadakan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi itu. Misalnya, pencurian, perampokan, penyerobotan, penggelapan dan sebagainya.
Hukum Islam dalam mengatur pergaulan hidup manusia memberikan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban agar ketertiban hidup masyarakat benar-benar dapat tercapai. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari sesuatu hal. Misalnya, dalam perikatan jual beli, pihak pembeli berhak menerima barang yang dibelinya, tetapi dalam waktu sama berkewajiban juga menyerahkan uangnya.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syarak. Berhadapan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya. Hukum Islam mengenal berbagai macam hak yang pada pokoknya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu hak Allah, hak manusia dan hak gabungan antara keduanya.
Sedangkan, Milkiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang berada dalam kekuasaanya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu harta atau barang yang secara hukum dapat dimilik oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang lain. Adapun menurut ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i.
Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya dapat melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dan dapat dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak.
Milik dalam buku; Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, didefinisikan sebagai kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar'i".
Dengan demikian milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhada harta tersebut.
Berdasarkan definisi milik tersebut, kiranya dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain dapat dikatakan "tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki".
Hak yang dijelaskan di muka, adakalanya merupakan sulthah, adakalanya merupakan taklif.
a. Sulthah terbagi dua, yaitu sultbah 'ala al-nafsi dan sulthah 'ala syai'in mu'ayanin.
- Sulthah 'ala al-Nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadlanah (pemeliharaan anak).
- Sulthah 'ala syai'in mu'ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi ('ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta ('ahdah maliyah) seperti membayar hutang.
Para fuqaha berpendapat bahwa hak adalah sebagai imbangan dari benda (a'yan), sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqa laisa bi al-mal).
Islam mengajarkan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Artinya terdapat kepentingan orang lain atau kepentingan umum yang harus diperhatikan. Lebih dari itu bahwa milik pada hakikatnya hanyalah merupakan titipan dari Allah sehingga perlakuan terhadap kepemilikan harus mengindahkan aturan dari pemiliknya yang asli.
B. Sebab-Sebab Kepemilikan
Manusia pada hakikatnya bisa memiliki benda apa pun, hal ini sudah menjadi suatu ketetapan. Akan tetapi tidak semua benda bisa dimiliki, seperti benda yang sudah ada pemilikinya, akan tetapi barang tersebut bisa berpindah tangan dengan cara tetentu dengan sesuai aturan.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, cara yang sah memperoleh milik sempurna ada empat macam, yaitu (1) menguasai benda mubah; (2) menghidupkan tanah mati; (3) berburu; (4) akad (perikatan) pemindahan milik.
Dalam perspektif yang lain, milkiyah (hak milik) dapat diperoleh melalui satu di.antara beberapa sebab berikut ini:
Pertama: Ihraz al-mubahat (Penguasaan harta bebas):
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-mubahat (harta bebas, atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani’ al-syar'iy) untuk memilikinya.
Misalnya, ikan di laut, rumput di jalan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lain-lain. Inilah semua barang mubah. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk tujuan dimiliki.Menguasai dengan maksus memiliki itu, dikatakan ihraz.
Dengan demikian upaya pemilikan suatu harta melalui ihraz almubahat harus memenuhi dua syarat:
(1). Tidak ada pihak lain yang mendahului melakukan ihraz al mubahat. Dalam hal ini berlakukah kaidah barangsiapa lebih dahulu menguasai 'harta bebas' maka sungguh ia telah memilikinya". Jika seseorang mengambil ikan dari laut "dan mengumpulkannya di tempat penyimpanan, misalnya di atas perahu, lalu ia meninggalkannya maka ikan tersebut tidak lagi dalam status al-mubahat dan orang lain terhalang untuk memilikinya melalui cara yang sama.
(2) Penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki. Menangkap ikan dari laut lalu dilepaskan di sungai, menunjukkan tidak adanya tujuan untuk memiliki. Dengan demikian status ikan tersebut tetap sebagai al-mubahat.
Jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah "penguasaan atas al mubahat (harta bebas) untuk tujuan dimiliki. Penguasaan tersebut dapat dilakukan melalui cara-cara yang lazim, misalnya dengan menempatkannya pada tempat yang dikuasainya atau dengan memberi batas, atau dengan memberi tanda pemilikan. Seekor burung yang bersarang di atas pohon tetap sebagai harta al-mubahat, sampai seseorang dapat menguasainya dengan menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah sangkar. Demikian juga segerombol walet yang bersarang pada sebuah gedung. Pemilik pohon dan pemilik gedung tidak dapat mengklaim burung tersebut sebagai miliknya. Ketika burung tersebut terbang ia benar-benar tidak menguasainya. Berbeda dengan getah walet yang menempel di rumah atau disebuah gedung yang sengaja dibuat untuk keperluan ini.
Dalam masyarakat bernegara, konsep ihraz al-mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas. Demi melindungi kepentingan publik (al-maslahah al-'ammah} negara atau penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam dan lain sebagainya.
Dengan demikian seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan; seseorang tidak boleh menguasai atau memiliki tanah atau kebun milik negara kecuali dengan izin, seseorang tidak boleh berburu satwa langka dan lain sebagainya.
Luqathah pada prinsipnya tidak termasuk harta mubahat. Luqathah atau suatu harta yang ditemukan di jalan yang mengandung indikasi bahwa harta tersebut sebelumnya telah dikuasai dan dimiliki orang lain. Jadi pada prinsipnya luqathah tidak termasuk harta mubahat, kecuali jika harta tersebut belum pernah dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain, seperti menemukan seekor binatang liar di jalan. Jika diketahui pemiliknya, harta benda tersebut harus segera diserahkan kepada pemiliknya, karena barang temuan tersebut bersifat amanat.
Kedua: Akad
Kata akad berasal dari kata al-aqd berarti mengikat, menyambung, atau menghubungkan. Menurut istilah fuqaha, ialah perikatan ijab dan kabul secara yang disyari’atkan agama nampak, bekasannya pada yang diakadkan itu. Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan, sedangkan menurut bahasa akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan. Dari segi sebab pemilikan dibedakan antara uqud jabariyah dan istimlak.
a. Uqud jabariyah, yaitu : akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan kepada keputusan hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Maka penjualan itu sah walaupun dia menjual karena dipaksa oleh hakim, dan hakim memaksa menjual barang itu untuk membayar hutang kepada orang lain, dan masuk ke dalam uqud ini, tamalluk, yaitu syuf’ah.
b. Istimlah, untuk maslahat umum. Umpamanya tanah-tanah yang disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid, harus dapat dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya. Ini dikatakan tamalluk bil jabri (pemilikan dengan paksaan).
Kedua-dua ini baik akad jabriyah, maupun tamalluk jabry masuk ke dalam bidang akad.
Ketiga: Khalafiyah (penggantian atau pewarisan).
Khalafiyah adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru di tempat yang lama, yang telah hilang, pada berbagai macam rupa hak. Dengan demikian khalifiyah dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya pewarisan. Dalam pewarisan seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tarikah). Jika seseorang wafat sama sekali tidak mempunyai harta, atau harta yang ditinggalkannya tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Dalam hal ini menurut Musthafa al-Zarqa', seorang fuqaha Hanafiyah, ahli warisnya tidak dapat dituntut melunasi hutang tersebut dengan harta-kekayaan sendiri.
Sebab al-irs (pewarisan) ditetapkan oleh syara' sebagai sebab penggantian pemilikan, bukan sebagai sebab penggantian piutang. Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadhmin (pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta'widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain, Melalui tadhmin dan ta'widh ini terjadilah penggantian atau peralihan milik dari pemilik pertama kepada pemilik baru.
Keempat: al-Tawallud (anak pinak atau berkembang biak)
Lengkapnya adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya dinamakan tawallud. Dalam hal ini berlaku kaidah "setiap peranakan atau segala suatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya".
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru) seperti binatang yang dapat bertelur, beranak, menghasilkan air susu, dan kebun yang menghasilkan buah dan bunga-bunga. Benda mati yang tidak bersifat produktif, seperti rumah, perabotan rumah (kecuali desewakan) dan uang, tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan (laba, sewa, bunga) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud,, karena betapapun rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi beranak. Keuntungan tersebut haruslah dipahami sebagai hasil dari usaha kerja (tijarah).
Dalam hal ini tijarah seharusnya tidak dipahami dalam pengertian sempit, terbatas pada usaha kerja yang dilakukan dengan mengerahkan SDM, baik melalui kerja otot maupun kerja pikir. Tijarah sesungguhnya juga mencakup usaha-kerja memanfaatkan asset barang (modal) untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain. Tijarah seperti ini lazimnya dinamakan usaha kerja di sektor jasa. Seperti menyewakan rumah atau perabotan rumah tangga. Meminjamkan atau mengutangkan uang (modal) seharusnya dihargai sebagai tijarah (usaha kerja) sehingga pemilik modal berhak memungut keuntungan.
C. Pemindahan Hak Milik
Sebelumnya kita telah mempelajari mengenai sebab-sebab kepemilikan barang. Tentu dengan mempelajari sebeb-sebab kepemilikan barang kita sudah bisa membayangi mengenai pemindahan barang hal milik dari seseorang ke orang lain. Adapun pemindahan hak milik bisa dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:
1. Perdagangan
Perdagangan merupakan suatu cara pertukaran barang. Dari penjual ke konsumen.
2. Warisan
Warisan merupakan peninggalan orang yang telah meninggal ke ahli waris. Seorang ahli waris berhak memiliki barang yang telah diwariskan kepadanya.
3. Pemberian atau hadiah
Pemberian hadian kepada orang lain merupakan hal yang baik dilakukan. Hal ini bisa membuat hubungan seseorang terus membaik. Pemberian hadiah dari orang yang memiliki barang ke orang yang diberi hadiah, tentu hal ini akan memindahkan hak miliki dari orang pertama ke orang kedua.
D. Hikmah kepemilikan dalam islam
a. Manusia tidak boleh sembarangan untuk memiliki sesuatu tanpa melihat aturan yang berlaku.
b. Manusia akan berusaha dengan benar untuk dapat memiliki sesuatu .
c. Membentengi manusia untuk dapat memiliki sesuatu dengan jalan yang tidak benar.
d. Terpeliharanya keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
e. Terciptanya situasi masyarakat yang saling mengisi dan saling membutuhkan.
f. Terbentuknya sikap saling menghormati dan menghargai antara sesame manusia.
Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah swt., agama islam sangat menghargai hak asasi manusia tidak seperti agama lainnya, setiap hukum-hukum islam memiliki hikmah-hikmah yang indah diantara hokum-hukumnya tersebut. Jadi bersyukurlah kita umat islam yang akan selalu terpenuhi dengan hikmah-hikmah dalam ketentuan ketentuan syara’ dan hukum-hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku M.H,Pengantar Fiqih Mu’amalah,Semarang:PustakaRizki Saputra,1997
Prof.Dr.Amir S., Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta utara: Prenada Media, 2003
Prof.Hendi Suhendi. Fiqih Mu’amalah. Jakarta Pusat: Rajagrafindo Persada. 2014
http://oranb.blogspot.co.id/2013/09/kepemilikan-dalam-islam.html diakses pada 20 Februari 2017
https://gedhanggoyeng.wordpress.com/ diakses pada 20 Februari 2017
Belum ada Komentar untuk " Kepemilikan(Al Milkiyah)"
Posting Komentar